Minggu, 29 Juni 2014

Swasembada Pangan


TUGAS PEREKONOMIAN INDONESIA

Apakah yang dimaksud dengan swasembada pangan, apakah Bangsa Indonesia telah mencapainya dan jika belum apakah yang menjadi saran saudara dalam pencapaian tersebut?


     PENGERTIAN SWASEMBADA PANGAN

Swasembada pangan berarti kita mampu untuk mengadakan sendiri kebutuhan pangan dengan bermacam-macam kegiatan yang dapat menghasilkan kebutuhan yang sesuai diperlukan masyarakat Indonesia dengan kemampuan yang dimilki dan pengetahuan lebih yang dapat menjalankan kegiatan ekonomi tersebut terutama di bidang kebutuhan pangan. Yang kita ketahui Negara Indonesia sangat berlimpah dengan kekayaan sumber daya alam yang harusnya dapat menampung semua kebutuhan pangan masyarakat Indonesia, salah satu cara yaitu dengan berbagai macam kegiatan seperti ini :

1.      Pembuatan UU & PP yg berpihak pada petani & lahan pertanian.
2.      Pengadaan infrastruktur tanaman pangan seperti: pengadaan daerah irigasi & jaringan irigasi, pencetakan lahan tanaman pangan khususnya padi, jagung, gandum, kedelai dll serta akses jalan ekonomi menuju lahan tsb.
3.      Penyuluhan & pengembangan terus menerus utk meningkatkan produksi, baik pengembangan bibit, obat-obatan, teknologi maupun sdm petani.
4.      Melakukan diversifikasi pangan, agar masyarakat tidak dipaksakan untuk bertumpu pada satu makanan pokok saja (dalam hal ini padi/nasi), pilihan diversifikasi di indonesia yg paling mungkin adalah sagu, gandum dan jagung (khususnya Indonesia timur).

Jadi diversifikasi adalah bagian dr program swasembada pangan yg memiliki pengembangan pilihan/ alternatif lain makanan pokok selain padi/nasi (sebab di indonesia makanan pokok adalah padi/nasi). Salah satu caranya adalah dengan sosialisasi ragam menu yang tidak mengharuskan makan nasi seperti yang mengandung karbohidrat juga seperti nasi yaitu : singkong,ubi,kentang.

Pakar ekonomi, Latif Adam, mengatakan, target swasembada pangan 2014 agak sulit terealisasi jika tidak ada insentif bagi petani yang menjadi tulang punggung pasokan pangan dalam negeri.
Tulang punggung ketahanan pangan adalah petani. Namun, mereka selalu dalam posisi sulit, terutama jika terkait dengan harga pangan dalam negeri.
-- Latif Adam

"Tulang punggung ketahanan pangan adalah petani. Namun, mereka selalu dalam posisi sulit, terutama jika terkait dengan harga pangan dalam negeri," 

kata Latif Adam dihubungi di Jakarta, Sabtu.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu mengatakan, petani sering tidak menerima keuntungan besar meskipun harga pangan dalam negeri naik tinggi.
Di sisi lain, apabila harga pangan dianggap terlalu tinggi dan membahayakan konsumen, kebijakan yang diambil pemerintah juga tidak berpihak kepada kepentingan petani.
"Harga pembelian pemerintah atau HPP terhadap komoditas pangan yang ditetapkan selama ini kurang menguntungkan petani. Jika pasokan dianggap kurang, pemerintah juga mengambil kebijakan impor yang justru membuat produksi petani kurang laku," tuturnya.
Seharusnya, kata Latif, pemerintah memberikan insentif kepada petani karena mereka yang paling terlibat dalam produksi dan ketahanan pangan nasional dengan memberikan harga yang menguntungkan bagi petani.
Namun, Latif mengatakan, di sisi lain pemerintah pun sering kali berada di posisi yang sulit dalam mengambil kebijakan. Pemerintah harus sama-sama memikirkan konsumen dan petani, tetapi juga harus merealisasikan target yang sudah ditetapkan.
"Kalau harga pangan naik, konsumen yang dirugikan. Di sisi lain, apabila pemerintah menekan harga, produsen dan petani yang dirugikan," ujarnya.
Namun, meskipun target swasembada pangan sulit direalisasikan pada 2014, Latif mengatakan, swasembada pangan tetap harus dicapai demi ketahanan pangan nasional. Karena itu, dia menyarankan agar pemerintah lebih mengedepankan kebijakan yang propetani. 

Program swasembada pangan pada masa susilo bambang yudoyono

Pada masa nya SBY dianggap gagal dalam hal swasembada pangan dan hanya dianggap keberhasilan yang semu,Pentingnya pencapaian swasembada beras, perlu diketahui kedudukan khusus beras dalam menu, budaya, dan politik Indonesia. Beras adalah bahan makanan pokok bagi orang Indonesia. Berbagai bahan makanan lain pengganti beras pernah dianjurkan oleh pemerintah, namun rakyat tidak menyukainya.
Ketika harga beras melonjak sampai pada titik di mana konsumsinya harus dikurangi, penduduk menjadi kekurangan gizi dan kelaparan. Beras adalah pusat dari semua hubungan pertalian sosial.
Radius Prawiro pada tahun 1998 menjabarkan beberapa langkah kunci yang pernah diambil dalam perjalanan ke arah swasembada beras, diantaranya: 
1. Bulog, Dewan Logistik Pangan, dan Harga-harga Beras.
Di antara lembaga-lembaga tersebut, Buloglah yang paling berperan dalam pencapaian swasembada beras. Bulog tidak terlibat langsung dalam bisnis pertanian, melainkan hanya dalam urusan pengelolaan pasokan dan harga pada tingkat ansional.
Bulog sengaja diciptakan untuk mendistorsi mekanisme harga beras dengan manipulasi untuk memelihara pasar yang lebih kuat. Selama tahun-tahun pertamanya dalam dekade 70-an, Bulog secara bertahap menaikkan harga dasar beras untuk petani. Pada pertengahan dekade 80-an, ketika Indonesia surplus beras, Bulog mengekspor beras ke luar negeri untuk mencegah jatuhnya harga. Tindakan ini membantu memelihara stabilitas pasar.
2. Teknologi dan Pendidikan. Sejak tahun 1963, Indonesia memperkenalkan banyak program kepada para petani untuk meningkatkan produktivitas usaha tani. Pemerintah berjuang untuk memperkenalkan teknologi pertanian kepada para petani.
Di samping itu, pemerintah juga menekankan pendidikan untuk menjamin teknik dan teknologi baru dimengerti dan digunakan secara benar. Faktor lain yang berperan penting dalam meningkatkan hasil padi adalah peningkatan penggunaan pupuk kimia.
3. Koperasi Pedesaan. Pada tahun 1972, ketika Indonesia kembali mengalami panen buruk, pemerintah menganjurkan pembentukan koperasi sebagai suatu cara untuk memperkuat kerangka kerja institusional. Ada dua bentuk dasar dari koperasi, pada tingkat desa ada BUUD (Badan Usaha Unit Desa).
Pada tingkat kabupaten, ada koperasi serba usaha yang disebut KUD (Koperasi Unit Desa). Koperasi juga bertindak sebagai pusat penyebaran informasi atau pertemuan organisasi.
4. Prasarana. Banyak aspek pembangunan prasarana yang secara langsung ditujukan untuk pembangunan pertanian, dan semuanya secara langsung memberikan kontribusi untuk mencapai swasembada beras. Sistem irigasi merupakan hal penting dalam pembangunan prasarana pertanian. Pekerjaan prasarana lain yang berdampak langsung dalam pencapaian tujuan negara untuk berswasembada beras adalah program besar-besaran untuk pembangunan dan rehabilitasi jalan dan pelabuhan.
Pada masa itu, petani dipaksa bekerja dengan program pertanian modern yang penuh dengan tambahan kimiawi yang merendahkan kualitas kesuburan tanah untuk jangka panjang. Para petani dipaksa bertanam dengan menggunakan sarana produksi pupuk, obat hama, benih, dan lain sebagainya yang dipasarkan oleh beberapa perusahaan MNC/TNC yang mendapatkan lisensi pemerintah.
Penggunaan saprodi produk perusahaan MNC/TNC tersebut harus dibeli petani dengan harga mahal dari tahun ke tahun. Akibatnya, biaya produksi pertanian selalu melambung dan tidak terjangkau oleh petani domestik. Ironisnya, harga jual produk pertanian terutama beras, dikontrol dan dibuat murah harganya oleh pemerintah.
Pemerintah juga sering melakukan praktik dagang menjelang pelaksanaan kebijakan ekonomi yang kontroversial. Stok beras di pasaran dibuat langka baru kemudian harga naik, akhirnya masyarakat dipaksa memahami impor beras yang akan dilakukan oleh pemerintah. Impor beras yang dilakukan oleh pemerintah berdampak dua hal yakni:
Pertama, menurunkan motivasi kerja para petani karena hasil kerja kerasnya akan kalah berkompetisi dengan beras impor di pasaran.
Kedua, menterpurukkan tingkat pendapatan petani domestik yang rendah menjadi sangat rendah.
Selain itu, ada motivasi ekonomi-politik yang sebenarnya disembunyikan di balik logika bisnis impor beras. Impor beras merupakan bentuk kebijakan ekonomi-politik pertanian yang mengacu kepada kepentingan pasar bebas atau mazhab neo-liberalisme.
Kebijakan impor beras adalah pemenuhan kesepakatan AoA (Agreement on Agriculture) WTO yang disepakati oleh Presiden Soeharto tahun 1995 dan dilanjutkan pemerintahan penerusnya sampai sekarang. Butir-butir kesepakatan AoA terdiri dari :
1. Kesepakatan market access (akses pasar) komoditi pertanian domestik. Pasar pertanian domestik di Indonesia harus dibuka seluas-luasnya bagi proses masuknya komoditi pertanian luar negeri, baik beras, gula, terigu, dan lain sebagainya.
2. Penghapusan subsidi dan proteksi negara atas bidang pertanian. Negara tidak boleh melakukan subsidi bidang pertanian, baik subsidi pupuk atau saprodi lainnya serta pemenuhan kredit lunak bagi sektor pertanian. 3. Penghapusan peran STE (State Trading Enterprises) Bulog, sehingga Bulog tidak lagi berhak melakukan monopoli dalam bidang ekspor-impor produk pangan, kecuali beras.
Dampak pemenuhan kesepakatan AoA WTO sangat menyedihkan bagi kondisi pertanian lndonesia semenjak 1995 hingga sekarang ini. Sektor pertanian di Indonesia mengalami keterpurukan dan kebangkrutan. Akibat memenuhi kesepakatan AoA WTO, Indonesia pernah menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1998 sebesar 4,5 juta ton setahun.
Beberapa kalangan aktivis gerakan petani di lndonesia menyebutkan merosotnya produksi beras nasional semenjak tahun 1985-2009 dikarenakan problem warisan struktural pertanian masih melekat dalam kehidupan petani. Di antaranya, semakin banyak petani yang berlahan sempit (menjamumya petani gurem) dan tidak adanya kemajuan teknologi pertanian yang berorientasi ekologis.
Menurut sebuah studi oleh Peter Timmer pada tahun 1975, Konsep kepemilikan lahan rata-rata memang agak kabur pada tingkat mikro karena adanya perbedaan besar dalam hal penggunaan dan kualitas lahan. Namun demikian, fakta yang perlu ditekankan adalah bahwa lebih dari dua pertiga populasi usaha tani hanya memiliki kurang dari setengah hektar lahan untuk bercocok tanam, bahkan mungkin kurang dari sepertiga hektar lahan”.
Kemiskinan struktural di Indonesia juga dikemukakan oleh Geertz pada penelitiannya di tahun 1963, yang membawa pada gagasan shared poverty (kemiskinan yang ditanggung bersama). Pekerjaan dan pendapatan dari sektor pertanian dibagi-bagi kepada anggota keluarga, atau desa, sehingga semua mendapat pekerjaan dan makanan, namun tetap miskin.
Geertz secara pesimis menyimpulkan bahwa barangkali tidak mungkin untuk memperbaiki pertanian Indonesia secara signifikan. Karena, tanpa mengubah struktur sosial secara besar-besaran, “Setiap usaha untuk mengubah arah perkembangannya, misalnya menabur pupuk di atas lahan pertanian di Jawa yang sangat sempit, irigasi modern, cocok tanam padat karya dan diversifikasi tanaman, hanya akan menumbuhkan satu hal: paralisis.”
Hasil survei Petani Center NGos tahun 2007 menyatakan bahwa tingkat pendapatan petani Indonesia yang memiliki luas sawah 0,5 hektare kalah dibandingkan dengan upah bulanan buruh industri di kota besar. Para petani yang memiliki tanah/sawah 0,5 hektare untuk sekali musim tanam memerlukan biaya produksi sebanyak Rp 2,5 juta, termasuk biaya sarana produksi, upah pekerja, pemeliharaan, dan lain-lain.
Sementara itu, hasil dari produksi beras/padi sawah seluas 0,5 hektare yang dijual, setelah sebagian dijadikan stok logistik rumah tangga, hanya menghasilkan Rp 3,5 juta hingga Rp 4 juta. Jadi, keuntungan bersih hanya Rp 1 juta sampai Rp 2 juta, yang jika dibagi tiga bulan maka rata-ratanya hanya mendapatkan laba Rp 700.000 per bulan. Jika impor beras dilakukan dan harga beras petani semakin anjlok, dapat dibayangkan berapa keuntungan yang akan didapatkan oleh para petani negeri ini.
Presiden SBY adalah seorang doktor pertanian yang pernah menulis tesis tentang revitalisasi pertanian dengan beberapa kesimpulan, di antaranya:
1) Untuk membangun kembali pertanian maka intervensi asing semacam IMF dan World Bank harus dinetralisasikan dari bidang pertanian.
(2) Pemerintah perlu mengorientasikan kebijakan fiskalnya untuk mendukung sektor pertanian.
(3) Pemerintah perlu memfasilitasi pengembangan pertanian yang berorientasi kepentingan petani dengan penerapan penuh sistem pertanian berkelanjutan. Namun sayangnya keyakinan atau ide cerdas SBY dalam disertasinya berbalik dengan realitas kebijakan ekonomi-politik pertanian yang direncanakan dan diimplementasikan.
Kebijakan pemerintahan SBY saat ini tidak mendukung berkembangnya sektor pertanian dalam negeri. Antara lain, Indonesia telah mengarah ke negara industri, padahal kemampuanya masih di bidang agraris. Misalnya, kedudukan Pulau Jawa sebagai sentra penghasil padi semakin kehilangan potensi karena industrialisasi dan pembangunan perumahan. Konversi tata guna lahan ini merupakan salah satu pemicu merosotnya pertanian Indonesia yang menjadi sumber penghidupan 49 persen warga negara.
Ada sejumlah faktor yang selama ini menjadi pemicu utama terpuruknya sektor pertanian, di antaranya :
1. Dari segi sarana dan prasarana, dana pemeliharaan infrastruktur pertanian, tidak ada pembangunan irigasi baru, dan pencetakan lahan baru tidak berlanjut.
2. Dalam hal bebasnya konversi lahan pertanian, pihak pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten tidak disiplin menjalankan pemerintahan dengan mengizinkan pengubahan fungsi pertanian yang strategis bagi ketahanan negara.
3. Dari sisi kebijakan dan politik, penerapan otonomi daerah membuat sektor tanaman pangan terabaikan. Para elite politik membuat kebijakan demi partai, bukan untuk kebijakan pangan rakyat. Keadaan semakin buruk dengan tidak adanya keamanan dan stabilitas yang seharusnya dijalankan aparat penegak hukum.
KESIMPULAN : 
Melihat dari berita tersebut saya menyimpulkan bahwa Negara Indonesia saat ini belum mencapai swasembada pangan dikarenakan masyarakat Indonesia belum sepenuhnya bisa menikmati kebutuhan pangan mereka dari petani-petani Indonesia sendiri. Jadi, swasembada pangan bagi Indonesia belum mencukupi atau Indonesia belum dapat memenuhi swasembada pangan untuk Indonesia sendiri. Karena swasembada pangan apabila Negara tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan pangan untuk seluruh masyarakat serta tidak tergantung terhadap impor pangan dari negara lain. Pemerintah telah mengupayakan indonesia untuk memenuhi kebutuhan pangan untuk seluruh  penduduk indonesia tapi pada kenyataan nya program yang telah di jalankan oleh pemerintah belum akurat dalam membantu program swasembada pangan. Hambatan yang terjadi dalam terciptanya swasembada pangan adalah kekurangan lahan untuk bercocok tanam karena penduduk indonesia sangat banyak maka memerlukan di setiap daerah swasembada pangan yang cukup luas lahan. solusi nya adalah pemerintah harus menyisihkan di setiap provinsi maupun daerah-daerah untuk mempunyai lahan yang luas agar dapat menanam semua kebutuhan pangan di situ. jangan setiap ada lahan kosong langsung menjadi proyek bisnis untuk menghasilkan keuntungan pihak tertentu atau pribadi. Sehingga lahan yang seharusnya di gunakan dalam menjalankan program swasembada malah menjadi suatu bisnis yang menyebabkan kepadatan penduduk dengan didirikan rumah-rumah permanen,mall,hotel, serta apartement. Menjadi salah satu hambatan dan indonesia akan terus menerus kekurangan bahan pangan dan akan mengimpor dari Negara lain.
DAFTAR PUSTAKA